Si Empat Temperamen
“Suatu ketika ada empat orang yang sedang menjelajahi hutan dan bertemu dengan batu yang menghalangi jalan di depannya. Orang pertama melihat batu tersebut dan tanpa ragu dia menendang batu itu. Inilah tipe orang koleris. Orang kedua yang melihatnya langsung berpikir tercenung, “Kok ada batu disini? Darimana dia datangnya? Bagaimana dia bisa ada di jalan ini?” tipe kedua inilah si melankolis. Lalu orang ketiga yang datang hanya memandangnya lalu beristirahat sejenak tuk menikmati makanannya sambil berpikir, “Ah, barangkali ada yang datang ke jalan ini nanti dan membantuku menyingkirkan batu itu.” Dan orang terakhir yang melewati jalan itu tidak menyadari adanya kehadiran batu karena dia sangat terpesona akan keindahan hutan, langit, dan pemandangan yang ia lihat sepanjang jalan. Tipe orang ketiga inilah si plegmatis dan yang terakhir adalah sanguinis.”
Cerita menarik di atas merupakan pembuka ruang diskusi saat itu, di kelompok belajar Nirwasita, sabtu tempo bulan lalu. Kami mengawali kegiatan ini dengan melakukan ice-breaking yang cukup menceriakan dan membaurkan peserta yang kaku tak kenal sebelumnya. Dari analogi cerita tersebut, lalu kami mendiskusikan 4 sifat temperamen dasar yang ada di dalam diri manusia. Tanpa pendiktean, kami dibagi kelompok dan menganalisis cerita yang dipilih oleh panitia untuk mengelompokkan tiap peran orang dalam cerita itu, yang mana saja yang menjadi si koleris, plegmatis, melankolis, ataupun sanguinis. Ya, kami mendiskusikannya secara bebas meski tiap kelompok mempunyai analisis yang berbeda, kami tidak menyalahkan analisanya berdasarkan teori tertentu.
Setelah diskusi santai yang diiringi remah tawa kelompok, panitia kembali melakukan ice-breakingdan membagi kami ke dalam kelompok yang berbeda. Tujuannya? Jelas untuk saling mengenal para peserta masing-masing dan masuk ke dalam tipe temperamen manakah tiap orang dalam kelompok itu. Saat dibagi lagi ke dalam kelompok lain yang orangnya sangat asing, saya hanya bisa diam menunggu instruksi. Instruksi pun diberikan oleh panitia, namun saya bingung tergagap untuk membuka obrolan dalam ruang diskusi kecil yang beranggotakan hanya 3 orang. Teman yang baru saya kenali itu, Jabs, akhirnya membuka obrolan tuk mencairkan suasana. Sepuluh menit berselang, saya bisa sedikit mengenali Jabs yang sanguin dan Dwina si plegmatis. Kami pun berbagi di depan kepada kelompok lain terhadap apa yang masing-masing kami dapatkan dari obrolan yang tak-lebih-dari 10 menit tersebut.
Sang panitia pun berkisah bahwa temperamen tiap masing-masing dapat dipengaruhi oleh lingkungannya. Dia menyebutkan bahwa di belahan lain di Afrika sana -yang saya lupa negara mana- terdapat sekumpulan orang yang sangat koleris dan hanya ada satu orang yang melankolis. Namun, saat si melankolis berpindah tempat ke luar lingkungannya dan katakanlah ke Eropa, dia pun menjadi koleris di Eropa sana. Pembawaan diri ini bisa dikatakan sudah terbentuk pada lingkungannya sedari masa kecilnya. Dia pun melanjutkan kisahnya bahwa di dalam diri kita sebenarnya ada empat bentuk ‘jiwa’ menurut Steiner: fisik, eterik, astral, “I” atau ego. Empat jiwa inilah yang membentuk karakter diri kita, dimana apabila kita hanya memberi ‘makan’ kepada jiwa yang tingkatannya rendah, tingkat spiritualitas atau kesadaran ilahi kita rendah. Apabila kita terus melatih jiwa kita kepada tingkatan yang lebih tinggi atau melatih terus “I” kita akan bisa selalu tercerahkan dan menjadi manusia yang eling.
Kemudian, sang panitia itu yang hanya mau disebut sebagai teh Agie pun bercerita bahwa temperamen yang sehat itu adalah yang keempat elemen itu seimbang. Antara si sanguin, koleris, melankolis, plegmatis dalam diri masing-masing orang bisa seimbang melengkapi tanpa mengungguli yang lain. Meski tiap masing-masing orang pasti ada satu-dua yang cukup unggul dari tipe temperamen tersebut. Dan tipe temperamen tiap orang sudah terbentuk dari lahir. Kita bisa melihatnya dari bayi. Namun, berdasarkan penilaiannya, bayi yang sehat adalah tipe bayi yang sanguin karena dia tidak terlalu melibatkan emosi ketika dihadapkan masalah dan tidak menjadikan sebentuk trauma pada saat dia beranjak dewasa.
Teh Agie pun menyimpulkan intisari dari kegitan tersebut adalah untuk mengenalkan metode pengajaran pedagogi kepada orang dewasa dimana kita dapat belajar tanpa adanya pendiktean terhadap suatu hal. Tanpa adanya teori awal terhadap empat jenis temperamen itu dan berangkat hanya dari sebuah analogi cerita. Sungguh kegiatan yang menarik bagiku. Diskusi dalam kelompok kami bisa menjadi hidup dan kami dapat mengambil pelajaran masing-masing sendiri. Setelah bercerita panjang lebar dan mendiskusikan apa yang kami dapat hari itu, kami lalu melakukan ice-breaking (lagi) dan berfoto ria bersama.
Sesi narsis yang selalu ditunggu di akhir kegiatan. Foto bersama! |
Semoga kegiatan-kegiatan Nirwasita ke depannya lagi bisa bermanfaat bagi diri kita dan lingkungan sekitar kita :)
By: RF.
0 comments: